Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Konsep Negara Islam di Indonesia

Mukhamad Fahrudin
0
 Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Konsep Negara Islam di Indonesia

                                                           Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas Semester
Mata Kuliah : Pemikiran Teologi Islam Modern
Dosen Pengampu : Bpk. Drs. Adnan, M. Ag.



Disusun oleh :
Purnomo                      (094211032)

FAKULTAS USHULUDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012

Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Konsep Negara Islam di Indonesia
Pendahuluan
Dalam suatu hadits dinyatakan bahwa “ tiap- tiap seseorang diantara kita semua merupakan pemimpin, dan pada suatu saat nanti akan dimintai pertanggungjawaban atas kepempimpinannya. Berangkat dari hadits di atas kita dapat menarik suatu pemahaman bahwa pada dasarnya tiap- tiap manusia merupakan pemimpin, minimal menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Term “ pemimpin” akan mengalami perubahan makna sesuai dengan konteksnya.
Sekarang ini negara kita dihadapkan dengan berbagai masalah yang besar meliputi krisis ekonomi, keadilan, kemanusiaan dsb. Oleh karena itu diperlukan sosok pemimpin yang benar- benar memenuhi kriteria sebagai pemimpin. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini kami akan menguraikan tentang hal- hal yang berkaitan dengan kepempimpinan dan diharapkan atas dasar ini pada akhirnya akan menghantarkan kepada kita tentang siapa yang berhak menjadi pemimpin di Negara Indonesia ini.
Rumusan Masalah
1.       Biografi tentang Nurcholish Madjid
2.     Corak pemikiran Nurcholish Madjid
3.       Pemikiran Beliau Terkait Konsep Negara Islam di Indonesia
Pembahasan
A.      Biografi tentang Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid adalah sosok yang melahirkan banyak fenomena untuk konteks masyarakat Indonesia. Sifat fenomenal tokoh ini dapat kita lihat pada fakta bahwa dengan kekuatan pribadi dan pemikirannya, Nurcholish Madjid mampu melahirkan pengaruh terhadap perubahan-perubahan tertentu di dalam masyarakat Indonesia. Pengaruh dan perubahan-perubahan itu bersifat institusional dan literal. Secara institusional, hasil dari pengaruh kekuatan pribadinya itu bisa terlihat wujud dan kinerja spesifik organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), di masa kepemimpinannya dan beberapa periode setelah itu. Tapi, pengaruh institusional yang paling mencolok dari Nurcholish Madjid adalah Yayasan Paramadina. Melalui lembaga ini, Nurcholish Madjid meletakkan pengaruhnya bukan saja pada sosialisasi pemikiran-pemikirannya, melainkan juga pada terbentuknya sebuah komunitas tertentu, walau masih samar-samar yang menjadi pendukungnya kebanyakan dari kalangan santri kota.
Nurcholish Madjid dilahirkan pada tanggal 17 Maret 1939 M dan bertepatan 26 Muharram 1358, di Jombang, sebuah kota Kabupaten di Jawa Timur. Nurcholish Madjid dibesarkan dalam kultur pesantren. Ayahnya bernama H. Abdul Madjid, adalah seorang alim dari pesantren Tebu Ireng, dan masih memiliki pertalian kerabat dengan K.H. Hasyim Asy’ari pemimpin pesantren Tebu Ireng Jombang dan tokoh pendiri NU, dan juga Ra’is Akbar NU kakek Abdur Rahman Wahid. Ibu Nurcholish Madjid adalah murid K.H Hasyim Asy’ari dan anak seorang aktivis Sarekat Dagang Islam (SDI) di Kediri. Pada masa itu SDI banyak dipegang oleh kalangan kyai dari NU. Dengan demikian Nurcholish Madjid memang berasal dari kultur NU. Ketika NU bergabung dengan Masyumi tahun 1985, ayah Nurcholish Madjid masuk dalam kalangan Masyumi. Dan ketika pada saat NU keluar dari Masyumi 1952, ayah Nurcholish Madjid tidak kembali ke NU dan tetap bertahan pada Masyumi, karena berpegang pada semacam fatwa K.H. Hasyim Asy’ari bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai Islam di Indonesia yang sah.[1]
Pendidikan dasar Nurcholish Madjid ditempuh di dua sekolah tingkat dasar, yaitu, al-Wathaniyah yang dikelola oleh orang tuanya sendiri, dan di Sekolah Rakyat (SR) di Mojoanyar, Jombang. Pada kota yang sama Nurcholish Madjid melanjutkan Pendidikan Menengah Pertama (SMP). Dengan demikian, sejak dari pendidikan dasar, beliau sudah menganut dua corak pendidikan. Pertama, pendidikan dasar dengan modal pesantren, yang berorientasi pada corak “kearaban” dengan menjadikan kitrab-kitab kuning sebagai referensi pokok dan lebih menonjolkan metode tradisional. Kedua, pendidikan dengan pola umum, yang lebih berorientasi pada metode pendidikan modern. Sejak pada pendidikan dasar inilah Nurcholish Madjid sudah memperlihatkan kecerdasannya, hal ini ditandai dengan berbagai penghargaan yang diterimanya karena prestasinya.[2]
Apa yang perlu dicatat dari dua pendidikan dasar yang diikutinya adalah merupakan cikal bakal pembentukan embrio intelektualnya. Dengan dua pola pendidikan ini Nurcholish Madjid memiliki akses pada warisan klasik serta khazanah modernitas, yang pada akhirnya membentuk Nurcholis Madjid menjadi seorang neo modernisme sejati tentunya juga dibentuk oleh pengalaman ayah Nurcholish Madjid.
B.      Corak Pemikiran Beliau
Kemunculan neo-modernisme yang dikembangkan Nurcholish Madjid dilatar belakangi oleh sejarah perkembangan umat Islam itu sendiri. Di satu pihak, Nurcholis Madjid melihat modernisme Islam yang lahir di awal abad XX, gagal mempertahankan kesegaran pemikiran-pemikiran “pembaharuannya”, ketika gerakan ini menjadi besar. Apa yang kemudian terjadi adalah kerutinan kerja mengolah dan menyelenggarakan lembaga-lembaga “pembaharuan secara amat praktikal”. Kerutinan ini telah menyebabkan kesempatan untuk pengolahan intelektual relatif semakin menghilang. Sikap mereka yang menentang secara tegas pemikiran tradisionalis semakin memperkering inspirasi-inspirasi intelektual. Modernisme Islam cenderung menampilkan dirinya sebagai gerakan pemikiran yang tegar, bahkan kaku. Sementara di pihak lainnya, tradisionalisme Islam cukup kaya dengan pemikiran Islam klasik. Akan tetapi justru karena kekayaan itu, para pendukung pola pemikiran ini menjadi sangat berorientasi pada masa lampau dan sempat selektif menerima gagasan-gagasan modernisasi. Akibatnya, perkembangan dan dinamika pemikiran di kalangan pendukung tradisionalme bergerak secara sangat lambat.
Dengan latar belakang semacam inilah pola pemikiran neo-modernisme muncul untuk menjembatani atau bahkan mengatasi dua pola pemikiran konvensional diatas. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, karakteristik pokok pada pola pemikiran neo-modernisme ini adalah suatu sikap untuk mengakomodasikan dua kutub pemikiran sekaligus, yaitu modernisme dan tradisionalisme. Dalam konteks pemikiran sosial politik, sikap akomodasi terhadap modernisme dan tradisionalisme ini berpengaruh terhadap cara pandang Nurcholish Madjid dalam melihat hubungan antara umat islam dan negara. Di satu pihak, elemen-elemen sosial pemikiran politik modern yang bersifat universal diterima sebagai suatu kenyataan yang tidak terelakan dalam perkembangan politik masyarakat Indonesia. Tetapi di pihak lain, tradisi politik keagamaan yang bersifat lokal, juga dipergunakan dalam usaha menempatkan diri dalam sistem politik yang ditentukan oleh pemerintah. Sikap semacam ini memang relatif tidak terdapat dalam pemikiran-pemikiran modernis Islam di masa lalu, di sekitar tahun 1955-1959. Pandangan politik modernis dalam periode ini berusaha menempatkan Islam yang telah diramu dengan elemen-elemen pemikiran tradisional.
Dengan demikian, seperti juga telah disebutkan secara selintas diatas, pemikiran neo-modernisme Islam tentang masalah sosial politik terkonsentrasi terhadap upaya mendamaikan, atau menempatkan suatu hubungan yang harmonis antara cita-cita Islam dan umatnya dengan kenyataan, demi keamanan politik negara.

C.      Pemikiran Nurcholish Madjid Terkait Pendirian Negara Islam di Indonesia

Nurchalis madjid  menolak konsep Negara islam, hal itu dipertegasnya dalam ceramah kebudayaan di Taman Ismail Marzuki yang kedua tahun 1972, yang mana sebagian isi ceramah itu sebenarnya merupakan pemikirannya terhadap epistimologi Islam, khususnya menyangkut dua pendekatan, yaitu pendekatan imani yang menyangkut masalah masalah keagamaan yang ukhrawi dan pendekatan ilmiah ynag meliputi masalah masalah keduniaan, baik tentang alam materi maupun social. pendekatan imani menghasilkan ibadah kepada Allah yang akan berdampak pada penyempurnaan budi luhur manusia. sementara pendekatan ilmiah harus bersifat rasional empiris yang mengahasilkan konsep amal amal sholeh.
Ia juga mengkritik konsep Negara islam yang dianggapnya sebagai sebuah apologia saja. menurutnya ada sebab mengapa umat Islam bersiakap apologi terhadap pemikiran pemikiran mereka. Pertama, sikap defensive mereka terhadap serbuan ideology ideology barat (modern), seperti demokrasi, sosialisme dan sebagainya yang bersifat totaliter. Umat islam menjawab serbuan itu dengan kosep al- Dien yang mencakup kesatuan agama dan Negara, namun tidak didasarkan kepada kajian ilmiah, hanya merupakan apologia ilusif saja. kedua, paham legalisme yang yang hanya dihasilkan oleh tuntunan pendekatan fikihisme, sehingga Negara dinilai sebagai susunan hokum yang disebut syariat. padahal, menurutnya, kajian kajian fikih di zaman modern telah kehilangan relevansinya terhadap persoalan persoalan masyarakat yang senantiasa berubah.
Negara misalnya, adalah suatu gejala yang berdimensi nasional objektif, sedangkan agama berdimensi spiritual yang bersifat pribadi, keduanya memang saling berkaitan, namun tetap dibedakan. jika Negara ikut mengatur masalah agama dan kepercayaan, maka hal ini tidak sesuai dengan ajaran Islam sendiri yang tidak mengenal otoritas keagamaan (la rahbaniyyah fi al Islam)tak ada otoritas kependetaan atau otoritas ulama dalam islam.[3]
Dalam masalah kepemimpinan menurut islam, nurcholis madjid juga mengatakan bahwa kerja sama yang harmonis antara masyarakat dan pemimpin merupakan suatu keharusan, sebab pada diri manusia juga terdapat kekuatan dan kelemahan sekaligus. kekuatan diperoleh karena hakikat kesucian asalnya berada dalam fitrah, yang membuatnya senantiasa berpotensi untuk benar dan baik. Adapun kelemahannya diakibatkan oleh kenyataan bahwa ia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang lemah, pendek pikiran dan sempit pandangan serta mudah mengeluh. manusia dapat meningkatkan kekuatannya dalam kerja sama, dan dapat memperkecil kelemahannya juga melalui kerja sama.
Ia juga menyebutkan dalam konteks kekinian , syarat pokok bagi pemimpin adalah harus mampu mengembangkan tradisi dialog dua arah, tidak menggurui dan juga tidak provokatif, maka suasana keterbuakaan akan menjadi sebuah keniscayaan. Ia membandingkan model kepemimpinan orde lama dengan zaman reformasi, ia menyebutkan bahwa konsep kepemimpinan orde lama yang cenderung dictator seperti halnya orde baru  sudah tidak layak lagi digunakan di zaman sekarang maupun di masa yang akan datang.[4]
Dalam pemikirannya tentang politik Islam, ia menyebutkan ada 3 pokok permasalahan yang harus dihadapi oleh umat islam, diantaranya adalah :
1.        perlunya  cara pemahaman yang lebih maju terhadap ajaran islam dengan cara tidak terjebak dalam paham tradisonalisasi islam, yakni dengan konsep sekularisasi yang menurut beliau tidak menjurus ke konsep sekularime.
2.       perlunya cara berpikir yang lebih bebas, sehingga umat islam tidak lagi terkungkung dalam kekangan doktrin yang membatasi umat islam mengembangkan wawasan mereka dalam bidang politik.
3.        perlunya idea of progress dan sikap yang lebih terbuka erhadap umat lain.
Tentang konsep Negara islam, nurchalis madjid menyebutkan bahwa konsep Negara islam adalah sebuah distorsi hubungan proporsional antara agama dan Negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimenensinya adalah rasional dan kolektif, sementara agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi. lebih lanjut ia menyebutkan , memang antara Negara dan agama tidak dapat dipisahkan, yaitu terdapat pertalian tak terpisahkan antara motivasi (sifat kebatinan iman)dan sikap bernegara melalui individu warga negara. namun antara keduanya tetap harus dibedakan dalam dimensi dan metodologinya. Karena suatu Negara tidak mungkin menembus dimensi spiritual guna mengatur dan mengawasi serta mengurus sikap bathin warga Negara, maka tak mungkin pula memberikan predikat keagamaan pada Negara tersebut.[5] Ini menunjukkan bahwa nurchalis madjid bukanlah pendukung politik islam, ini dibuktikan dengan pernyataannya bahwa islam bukanlah system politik.










Daftar Pustaka

-          Nurcholis Madjid. Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984).
-          M, Dawam Rahardjo, merayakan kemajemukan kebebasan dan berkebangsaan (Kencana Media : 2010: Jakarta).
-          Muhammad Hari .zamharir ,Agama dan Politik,analisis kritis pemikiran politik Nurcholis madjid,( Rajawali Press :2004.Jakarta ),

[1] Nurcholis Madjid. Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984). Hal. 35.
[2] Ibid. hal. 40
[3]  M, Dawam Rahardjo, merayakan kemajemukan kebebasan dan berkebangsaan,         ( Kencana Media : 2010: Jakarta),hal. 65
[4]  Muhammad Hari .zamharir ,Agama dan Politik,analisis kritis pemikiran politik Nurcholis madjid,( Rajawali Press :2004.Jakarta ), hal. 98

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)