Hadzaf Dalam Al-Qur'an dan Hadits
Disusun Oleh:
ANDIKA MAULANA
I. PENDAHULUAN
Ketika membaca al-Qur’an atau hadits, kita akan mendapati sebagian kata kerja yang membutuhkan objek (transitive verb) tidak terdapat objeknya. Ada juga sebagian kata kerja yang membutuhkan objek dan secara jelas disebutkan objeknya. Mungkin timbul pertanyaan dalam benak kita, kenapa ada sebagian kata kerja yang membutuhkan objek tidak disebutkan objeknya? Akan tetapi, ada juga sebagian kata kerja yang membutuhkan objek disebutkan objeknya?
Pada makalah ini, pemakalah akan membahas makna yang terkandung dalam kata kerja yang membutuhkan objek, namun objeknya tidak disebutkan. Selain itu, akan dibahas juga masalah penyisipan satu kata atau lebih yang digunakan untuk meluruskan/memperjelas makna, yang dilakukan oleh pakar-pakar bahasa. Penyisipan itu karena mereka berasumsi bahwa ada kalimat/kata yang tidak ditemukan dalam susunan itu.
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya : apakah makna yang terkandung dalam kata kerja yang ditiadakan objeknya ? Dan bagaimanakah cara penyisipan satu kata atau lebih yang digunakan untuk meluruskan/memperjelas makna, yang dilakukan oleh pakar-pakar bahasa?
III. PEMBAHASAN
III. PEMBAHASAN
Peniadaan Objek Kalimat Menunjuk Pengertian Umum Yang Sepadan
Apabila suatu kata kerja, atau yang mengandung arti kata kerja , dihubungkan dengan suatu objek tertentu, maka pengertiannya menjadi terbatas hanya pada kata kerja yang berkaitan. Akan tetapi jika objek kata kerja ataupun yang mengandung arti kata kerja itu ditiadakan (tidak disebutkan), maka kata tersebut menunjuk pengertian umum.[1] Contoh-contoh dibawah ini diharapkan dapat menerangkan secara konkret uraian yang dimaksud.
Beberapa ayat al-Qur’an ditutup dengan kalimat “la’allakum ta’qilun” (agar kamu memikirkan). Objek kalimat ini memang tidak disebutkan. Hal ini untuk menunjuk pengertian yang umum, yaitu: agar kita memikirkan semua yang mengarahkan dan mengajarkan, memikirkan semua ayat al-Qur’an dan hikmah yang terkandung di dalamnya, dan berfikir tentang Allah beserta semua sifat-Nya.
Demikian juga, dalam penutup beberapa ayat yang berbunyi “la’allakum tadzakkarun” (agar kamu mengingat), yaitu agar kamu tetap mengingat dan menyadari, bahwa setiap kali secara fisik kita merasa berhadapan dengan sunnatullah dan tanda-tanda kebesaran Allah, hendaknya kita berpikir pula tentang semua yang akan memberikan kemaslahatan pada kehidupan kita, baik bersifat keagamaan maupun keduniaan.
Pengertian serupa terdapat dalam kalimat penutup ayat yang berbunyi “la’allakum tattaqun” (agar kamu bertakwa), yaitu agar kamu bertakwa kepada (waspada dan menjaga diri) terhadap semua yang wajib diwaspadai, baik dari kelalaian dan ketidaktahuan maupun dari musuh yang akan menjerumuskan ke lembah dosa dan pendurhakaan kepada Allah SWT. Dengan menerapkan kaidah “peniadaan objek kalimat menunjuk pengertian umum”, dapat dikatakan, semua makna yang sepadan dalam pengertian kata berpikir, mengingat dan bertakwa, adalah bagian dari pengertian ayat-ayat diatas.
Contoh lainnya dapat ditemukan pada surah al-Baqarah (2): 183:
$yg•ƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6ø‹n=tæ ãP$u‹Å_Á9$# $yJx. |=ÏGä. ’n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”
Berdasarkan kaedah di atas, pengertian takwa menunjuk pada semua makna yang berkaitan dengan hikmah dalam puasa, yaitu agar kamu waspada dan menjaga diri dari segala yang diharamkan Allah, baik perkataan kotor dan perbuatan keji, maupun segala sifat buruk dan jahat lainnya. Agar menjauhi segala larangan dan yang membatakan puasa; Agar waspada terhadap segala yang dimurkai Allah, serta berprilaku sebagai orang yang bertakwa.[2]
Hadzaf
Beberapa ayat al-Qur’an ditutup dengan kalimat “la’allakum ta’qilun” (agar kamu memikirkan). Objek kalimat ini memang tidak disebutkan. Hal ini untuk menunjuk pengertian yang umum, yaitu: agar kita memikirkan semua yang mengarahkan dan mengajarkan, memikirkan semua ayat al-Qur’an dan hikmah yang terkandung di dalamnya, dan berfikir tentang Allah beserta semua sifat-Nya.
Demikian juga, dalam penutup beberapa ayat yang berbunyi “la’allakum tadzakkarun” (agar kamu mengingat), yaitu agar kamu tetap mengingat dan menyadari, bahwa setiap kali secara fisik kita merasa berhadapan dengan sunnatullah dan tanda-tanda kebesaran Allah, hendaknya kita berpikir pula tentang semua yang akan memberikan kemaslahatan pada kehidupan kita, baik bersifat keagamaan maupun keduniaan.
Pengertian serupa terdapat dalam kalimat penutup ayat yang berbunyi “la’allakum tattaqun” (agar kamu bertakwa), yaitu agar kamu bertakwa kepada (waspada dan menjaga diri) terhadap semua yang wajib diwaspadai, baik dari kelalaian dan ketidaktahuan maupun dari musuh yang akan menjerumuskan ke lembah dosa dan pendurhakaan kepada Allah SWT. Dengan menerapkan kaidah “peniadaan objek kalimat menunjuk pengertian umum”, dapat dikatakan, semua makna yang sepadan dalam pengertian kata berpikir, mengingat dan bertakwa, adalah bagian dari pengertian ayat-ayat diatas.
Contoh lainnya dapat ditemukan pada surah al-Baqarah (2): 183:
$yg•ƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6ø‹n=tæ ãP$u‹Å_Á9$# $yJx. |=ÏGä. ’n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”
Berdasarkan kaedah di atas, pengertian takwa menunjuk pada semua makna yang berkaitan dengan hikmah dalam puasa, yaitu agar kamu waspada dan menjaga diri dari segala yang diharamkan Allah, baik perkataan kotor dan perbuatan keji, maupun segala sifat buruk dan jahat lainnya. Agar menjauhi segala larangan dan yang membatakan puasa; Agar waspada terhadap segala yang dimurkai Allah, serta berprilaku sebagai orang yang bertakwa.[2]
Hadzaf
Dalam konteks kejelasan makna dari suatu susunan kata, pakar-pakar bahasa tidak segan untuk menyisipkan satu kata atau lebih guna meluruskan/memperjelas makna. Penyisipan itu karena mereka berasumsi bahwa ada kalimat/kata yang tidak ditemukan dalam susunan itu (Hazef).[3]
Penyisipan tersebut bisa jadi indikatornya ditemukan dalam susunan kalimat/ayat atau rangkaian ayat-ayat, bisa juga diluarnya. Sebagai contoh firman Allah SWT dalam QS. Yunus (10): 67. Disana dinyatakan:
uqèd “Ï%©!$# Ÿ@yèy_ ãNä3s9 Ÿ@øŠ©9$# (#qãZà6ó¡oKÏ9 ÏmŠÏù u‘$yg¨Y9$#ur #·ÅÁö6ãB 4 ¨bÎ) †Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcqãèyJó¡o„ ÇÏÐÈ
“Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan siang terang benderang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar.
Di sini ulama menyisipkan – dalam benak/penafsirannya – kalimat sehingga maksud ayat ini setelah penyisipan adalah: Dialah yang menjadikan malam bagi kamu (gelap) supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah).”
Penjelasannya sebagai berikut. Ayat di atas berbicara tentang dua hal yang bertolak belakang, yakni siang dan malam. Pada penggalan yang berbicara tentang malam tidak disebutkan kata gelap, tetapi karena pada penggalan yang berbicara tentang siang disebutkan terang benderang, maka menjadi wajar disisipkan kata gelap ketika menjelaskan tentang malam. Demikian juga sebaliknya. Ketika berbicara tentang malam disebutkan salah satu tujuannya, yaitu beristirahat, maka sangat wajar disisipkan kalimat supaya kamu mencari karunia Allah pada penggalan berikutnya. Hal yang semacam ini banyak ditemukan dalam al-Qur’an.
Contoh penyisipan yang berindikator dari luar ayat adalah firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 184;
4 `yJsù šc%x. Nä3ZÏB $³ÒƒÍ£D ÷rr& 4’n?tã 9xÿy™ ×o£‰Ïèsù ô`ÏiB BQ$ƒr& tyzé& 4
“Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka hendaklah dia menghitung (untuk menggantinya) pada hari-hari yang lain.”
Jika kita berpegang pada bunyi teks ayat diatas, maka yang musafir dan yang sakit tidak diizinkan berpuasa dan diwajibkan buat mereka berpuasa pada hari yang lain sebanyak hari-hari perjalanan/sakitnya.
Makna ini tidak sejalan dengan tuntunan Rasul SAW yang membolehkan seorang musafir atau yang sakit untuk berpuasa. Atas dasar itu, maka perlu ada penyisipan kalimat antara “dalam perjalanan” dan “wajib baginya berpuasa dst” sisipan tersebut adalah kalimat “bila ia tidak berpuasa”.
Tentu saja melakukan penyisipan ini harus berdasar pemahaman yang utuh terhadap ayat, baik yang berkaitan dengan kata yang digunakannya maupun rangkaian kata-katanya serta mengetahui pula keterangan-keterangan yang shahih, baik dari Rasul SAW maupun selain dari beliau yang memiliki kompetensi.[4]
IV. KESIMPULAN
Apabila suatu kata kerja, atau yang mengandung arti kata kerja , dihubungkan dengan suatu objek tertentu, maka pengertiannya menjadi terbatas hanya pada kata kerja yang berkaitan. Akan tetapi jika objek kata kerja ataupun yang mengandung arti kata kerja itu ditiadakan (tidak disebutkan), maka kata tersebut menunjuk pengertian umum.
Dalam konteks kejelasan makna dari suatu susunan kata, pakar-pakar bahasa tidak segan untuk menyisipkan satu kata atau lebih guna meluruskan/memperjelas makna. Penyisipan itu karena mereka berasumsi bahwa ada kalimat/kata yang tidak ditemukan dalam susunan itu (Hazef).
Tentu saja melakukan penyisipan ini harus berdasar pemahaman yang utuh terhadap ayat, baik yang berkaitan dengan kata yang digunakannya maupun rangkaian kata-katanya serta mengetahui pula keterangan-keterangan yang shahih, baik dari Rasul SAW maupun selain dari beliau yang memiliki kompetensi
V. DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abd. Rahman, Kaidah-Kaidah Tafsir, Jakarta: Amzah, 2010.
Shihab, M. Quraish, Kaedah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Katahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an, Tangerang: Lentera Hati, 2013.
[1] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A., Kaedah-Kaedah Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 67.
[2] Ibid. h. 67-68.
[3] M. Quraish Shihab, Kaedah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Katahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 104-105.
[4] Ibid. h. 105-106.
Penyisipan tersebut bisa jadi indikatornya ditemukan dalam susunan kalimat/ayat atau rangkaian ayat-ayat, bisa juga diluarnya. Sebagai contoh firman Allah SWT dalam QS. Yunus (10): 67. Disana dinyatakan:
uqèd “Ï%©!$# Ÿ@yèy_ ãNä3s9 Ÿ@øŠ©9$# (#qãZà6ó¡oKÏ9 ÏmŠÏù u‘$yg¨Y9$#ur #·ÅÁö6ãB 4 ¨bÎ) †Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcqãèyJó¡o„ ÇÏÐÈ
“Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan siang terang benderang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar.
Di sini ulama menyisipkan – dalam benak/penafsirannya – kalimat sehingga maksud ayat ini setelah penyisipan adalah: Dialah yang menjadikan malam bagi kamu (gelap) supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah).”
Penjelasannya sebagai berikut. Ayat di atas berbicara tentang dua hal yang bertolak belakang, yakni siang dan malam. Pada penggalan yang berbicara tentang malam tidak disebutkan kata gelap, tetapi karena pada penggalan yang berbicara tentang siang disebutkan terang benderang, maka menjadi wajar disisipkan kata gelap ketika menjelaskan tentang malam. Demikian juga sebaliknya. Ketika berbicara tentang malam disebutkan salah satu tujuannya, yaitu beristirahat, maka sangat wajar disisipkan kalimat supaya kamu mencari karunia Allah pada penggalan berikutnya. Hal yang semacam ini banyak ditemukan dalam al-Qur’an.
Contoh penyisipan yang berindikator dari luar ayat adalah firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 184;
4 `yJsù šc%x. Nä3ZÏB $³ÒƒÍ£D ÷rr& 4’n?tã 9xÿy™ ×o£‰Ïèsù ô`ÏiB BQ$ƒr& tyzé& 4
“Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka hendaklah dia menghitung (untuk menggantinya) pada hari-hari yang lain.”
Jika kita berpegang pada bunyi teks ayat diatas, maka yang musafir dan yang sakit tidak diizinkan berpuasa dan diwajibkan buat mereka berpuasa pada hari yang lain sebanyak hari-hari perjalanan/sakitnya.
Makna ini tidak sejalan dengan tuntunan Rasul SAW yang membolehkan seorang musafir atau yang sakit untuk berpuasa. Atas dasar itu, maka perlu ada penyisipan kalimat antara “dalam perjalanan” dan “wajib baginya berpuasa dst” sisipan tersebut adalah kalimat “bila ia tidak berpuasa”.
Tentu saja melakukan penyisipan ini harus berdasar pemahaman yang utuh terhadap ayat, baik yang berkaitan dengan kata yang digunakannya maupun rangkaian kata-katanya serta mengetahui pula keterangan-keterangan yang shahih, baik dari Rasul SAW maupun selain dari beliau yang memiliki kompetensi.[4]
IV. KESIMPULAN
Apabila suatu kata kerja, atau yang mengandung arti kata kerja , dihubungkan dengan suatu objek tertentu, maka pengertiannya menjadi terbatas hanya pada kata kerja yang berkaitan. Akan tetapi jika objek kata kerja ataupun yang mengandung arti kata kerja itu ditiadakan (tidak disebutkan), maka kata tersebut menunjuk pengertian umum.
Dalam konteks kejelasan makna dari suatu susunan kata, pakar-pakar bahasa tidak segan untuk menyisipkan satu kata atau lebih guna meluruskan/memperjelas makna. Penyisipan itu karena mereka berasumsi bahwa ada kalimat/kata yang tidak ditemukan dalam susunan itu (Hazef).
Tentu saja melakukan penyisipan ini harus berdasar pemahaman yang utuh terhadap ayat, baik yang berkaitan dengan kata yang digunakannya maupun rangkaian kata-katanya serta mengetahui pula keterangan-keterangan yang shahih, baik dari Rasul SAW maupun selain dari beliau yang memiliki kompetensi
V. DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abd. Rahman, Kaidah-Kaidah Tafsir, Jakarta: Amzah, 2010.
Shihab, M. Quraish, Kaedah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Katahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an, Tangerang: Lentera Hati, 2013.
[1] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A., Kaedah-Kaedah Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 67.
[2] Ibid. h. 67-68.
[3] M. Quraish Shihab, Kaedah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Katahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 104-105.
[4] Ibid. h. 105-106.