Periwayatan Hadits Dengan Makna
Disusun Oleh:
ANDIKA MAULANA
Disusun Oleh:
ANDIKA MAULANA
I. PENDAHULUAN
Hadits Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadits, terlebih dahulu melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayah al-hadits atau ar-riwayah. Periwayatan adalah memindahkan apa yang didengar, yaitu mencakup penerimaan dan penyampaian berita. Maka kegiatan ini sudah ada bersamaan dengan munculnya manusia di bumi, dan tidak hanya terjadi pada suatu umat atau satu generasi. Karena memang kegiatan ini merupakan tabiat manusia di dalam proses saling menerima dan menyampaikan suatu kabar berita.
Sejarah telah mencatat bahwa tradisi periwayatan ini telah menyebar di berbagai bangsa. Bangsa Romawi sangat memperhatikan sejarah tuhan-tuhan mereka. Demikian juga Yunani dan Arab Jahiliyah. Mereka tidak akan mengetahui sejarah itu kecuali melalui penuturan secara turun temurun (periwayatan) di antara mereka. Dengan cara ini mereka tidak perlu menelusuri catatan-catatan atau dokumen-dokumen yang tersimpan dalam suatu lembaga tertentu, karena memang tradisi menulis belum membudaya di kalangan mereka.
Ketika Islam datang, tradisi periwayatan ini terus berjalan dan semakin mendapat perhatian khusus dari umat Islam. Tetapi periwayatan dalam Islam – periwayatan hadits – mempunyai keistimewaan dan cirri-ciri khusus yang akan membedakannya dari periwayatan-periwayatan yang telah ada sebelumnya. Keistimewaan ini dilihat dari dua hal, yaitu: (1) perhatian umat Islam terhadap aspek periwayatan; (2) adanya unsur persambungan sanad sampai kepada Nabi.[1]
Pada kesempatan kali ini pemakalah akan membahas tentang perhatian umat Islam terhadap aspek periwayatan, dimana dalam periwayatan hadits terdapat dua cara, yaitu periwayatan dengan lafadz (ar-Riwayah bi al-Lafdzi) dan periwayatan dengan makna (ar-Riwayah bi al-Ma’na). Namun makalah yang ada di hadapan pembaca ini khusus mengkaji tentang ar-Riwayah bi al-Ma’na, dimana dalam periwayatan dengan makna ini terdapat beberapa permasalahan yang harus dikaji yang insya Allah akan kami uraikan di pembahasan berikut ini.
II. PEMBAHASAN
A. Konsep ar-Riwayah bi al-Ma’na
Secara etimologis, kata ar-Riwayah bi al-Ma’na terdiri dari kata ar-Riwayah dan al-Ma’na. Ar-Riwayah adalah masdar dari kata rawa yang berarti penukilan, penyebutan, pintalan dan pemberian minum sampai puas. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia berarti cerita, kisah dan berita. Jika dihubungkan dengan hadis, berarti berita atau atau khabar yang umum yang dimaksudkan untuk menerangkan hukum syara’. Sedangkan menurut istilah ilmu hadits, ar-Riwayah berarti memindahkan hadits dan menyandarkannya kepada seseorang dengan metode tertentu, atau kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits serta penyandarannya kepada rangkaian para periwayat dengan bentuk-bentuk tertentu.
Sedangkan al-Ma’na diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan makna yang berarti maksud, arti atau apa-apa yang dikehendaki oleh sesuatu. Dalam hal ini, al-Ma’na berarti kontekstual (al-Lafdzi). Maka susunan kata ar-Riwayah bi al-Ma’na berarti periwayatan hadits yang dilakukan oleh seorang periwayat dengan menggunakan lafal dari dirinya sendiri, baik keseluruhan maupun sebagiannya saja dengan tetap menjaga artinya tanpa menghilangkan apapun apabila dibandingkan dengan hadits yang diriwayatkan menurut lafal atau teks aslinya.[2]
B. Periwayatan Hadits dengan Makna
Periwayatan hadits dengan makna termasuk ilmu riwayah hadits yang paling penting karena padanya terjadi perbedaan pendapat dan ketidakjelasan serta banyak problemanya, diantaranya adalah sebagai berikut.
Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama bahwa orang yang bodoh, rawi pemula, orang yang belum mahir dalam bidang ilmu hadits, tidak menonjol pengetahuannya tentang struktur lafal dan kalimat bahasa Arab, dan tidak paham terhadap makna hadits adalah tidak boleh meriwayatkan dan menceritakan hadits kecuali dengan lafal yang didengarnya. Karena bila ia meriwayatkan hadits tidak dengan lafalnya, maka ia akan memutuskan suatu hukum dengan kebodohannya, berkiprah dalam pangkal syari’ah yang bukan wewenangnya, dan berkata semena-semena terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Ulama salaf, ulama hadits, fiqih, dan ushul berbeda pendapat dalam hal boleh-tidaknya periwayatan hadits dengan makna bagi orang yang mengetahui makna-makna lafal dan sasaran khithab.
Banyak ulama salaf dan ahli penelitian dari kalangan muhadditsin dan fuqaha bersikap sangat tegas sehingga mereka melarang periwayatan hadits dengan makna, dan tidak memperbolehkan seorangpun menyampaikan hadits kecuali dengan lafalnya.
Jumhur ulama, termasuk imam yang empat, berpendapat bolehnya meriwayatkan hadits dengan makna bagi orang yang berkecimpung dalam ilmu hadits dan selektif dalam mengidentifikasi karakter lafal-lafal hadits manakala bercampur aduk, sebab hadits yang dapat diriwayatkan dengan maknanya saja harus memenuhi dua kriteria, yaitu (1) lafal hadits bukan bacaan ibadah dan (2) hadits tersebut tidak termasuk jawami’ al-kalim (kata-kata yang sarat makna) yang diucapkan Nabi SAW.)
Pendapat inilah yang shahih, karena hadits yang memenuhi kedua kriteria di atas pokok permasalahannya terletak pada maknanya dan bukan pada lafalnya. Oleh karena itu bila seorang alim meriwayatkan suatu hadits dengan maknanya saja, maka ia telah memenuhi tuntutan dan maksud hadits tersebut.
Bukti empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan umat memperbolehkan seorang ahli hadits menyampaikan hadits dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa Arab.
Bukti lain adalah bahwa periwayatan hadits dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi tiada lain karena mereka berpegang kepada makna hadits bukan kepada lafalnya.[3]
C. Problema Periwayatan Hadits dengan Makna
Kebanyakan rawi mengambil kemudahan periwayatan hadits dengan makna dan mengamalkan kandungannya agar tidak terjadi penyia-nyiaan terhadap sejumlah besar hadits yang telah diketahui keshahihan kandungannya. Hal ini mengingat bahwa keharusan periwayatan hadits dengan lafalnya itu mengakibatkan kesulitan yang serius bagi para rawi, karena mereka mesti hati-hati dan betul-betul menguasai.
Kemudian datanglah sebagian ulama yang berorientasi ke Barat dengan mengikuti pemikiran guru-gurunya yang orientalis. Mereka melontarkan beberapa anggapan dan keraguan terhadap hadits yang diriwayatkan dengan maknanya. Mereka beranggapan bahwa bila seorang rawi diperbolehkan mengganti lafal yang digunakan oleh Rasulullah SAW dengan redaksinya sendiri, maka gugurlah kalimat yang pertama, karena pengungkapan dengan makna itu tidak terlepas dari perbedaan dan perubahan. Sehingga apabila perbedaan dan perubahan itu berjalan terus-menerus, maka yang terakhir menjadi sangat jauh sehingga antara kalimat yang pertama (yang diucapkan Rasulullah SAW.) dan kalimat yang terakhir sama sekali tidak memiliki titik kesamaan.
Tuduhan itu diatur sedemikian rupa oleh para pelakunya untuk menanamkan keraguan ke dalam hati umat Islam dengan cara memutarbalikkan dan menilai adanya penyimpangan terhadap syarat-syarat yang telah digariskan oleh para ulama sekitar keshahihan hadits dan periwayatannya dengan makna. Yaitu syarat-syarat yang membuat pemerhati hadits yakin bahwa periwayatan hadits dengan makna mereka lakukan tidak mengakibatkan perbedaan makna hakikinya sebab yang mereka lakukan tiada lain adalah menempatkan beberapa kata pada tempat kata-kata lain yang semakna.[4]
III. PENUTUP
Sebagai penutup makalah ini, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan dan diingat, yaitu:
a. Ada satu hal yang perlu diperhatikan dan diingat, yaitu bahwa perbedaan pendapat sehubungan dengan periwayatan hadits dengan makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan hadits. Setelah hadits dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan pendapat itu telah hilang dan periwayatan hadits harus mengikuti lafal yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima periwayatan hadits dengan makna. Bahkan akhir-akhir ini telah ditetapkan dilarangnya periwayatan hadits dengan maknanya saja dalam praktik, meskipun secara teori sebagiam ulama masih membolehkannya.
b. Orang yang meriwayatkan hadits dengan maknanya hendaknya senantiasa mempedulikan satu sisi kehati-hatian, yakni dengan mengikutsertakan kata-kata “au kama qaala” atau “au nahwa haadza” dan sebagainya setelah selesai membacakan hadits tersebut. Hal ini dilakukan oleh Ibnu Mas’ud, Anas bin Malik, Abu al-Darda’, dan sebagainya.[5]
IV. DAFTAR PUSTAKA
‘Itr, Nuruddin,’Ulum Al-Hadits 1, diterjemahkan oleh Drs. Mujiyo dari “Manhaj An-Naqd Fii ‘Ulum Al-Hadits,” Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cetakan Pertama, 1994.
Noorhidayati, Salamah, Kritik Teks Hadits (Analisis tentang ar-Riwayah bi al-Ma’na dan Implikasinya bagi Kualitas Hadits), Yogyakarta: Penerbit TERAS, Cetakan Pertama, 2009.
[1] Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadits (Analisis tentang ar-Riwayah bi al-Ma’na dan Implikasinya bagi Kualitas Hadits), (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), Cetakan Pertama, h. 15-23.
[2] Ibid. h. 45-48.
[3] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum Al-Hadits 1, diterjemahkan oleh Drs. Mujiyo dari “Manhaj An-Naqd Fii ‘Ulum Al-Hadits,” (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), Cetakan Pertama, h. 212-214.
[4] Ibid. h. 214-216.
[5] Ibid. h. 213-214.