Epilepsi merupakan topik yang luas dan berkembang cukup pesat. Pengetahuan kita mengenai epilepsi perlu sewaktu-waktu disegarkan dan ditambah dengan informasi yang baru.
Serangan pertama pada sebagian besar penderita epilepsi telah terjadi semasa anak-anak, sekitar 55 % terjadi sebelum berusia 10 tahun. Untuk meningkatkan penaggulangan epilepsi secara keseluruhan, perlu ditingkatkan penanggulangan epilepsi pada anak-anak dan remaja. Dalam menangani epilepsi perlu diciptakan kerjasama yang baik antara orang tua, pengasuh, dokter, penderita, anggota msyarakat yang bayak hubungannya dengan penderita,misalnya guru di sekolah. Kerjasama yang baik berpengaruh positif terhadap hasil terapi, baik dari segi perkembangan kepribadian, menta, penyesuaian diri terhadap lingkungan, maupun dri segi mencegah kambuhnya serangan.
Keputusan untuk memulai pengunaan obat-obat anti epilepsi ( OAE ) pada seorang anak penderita epilepsi dapat mempunyai dampak yang besar bagi kehidupannya dalam keadan tertentu. Hal itu juga dpat menjadi suatu konfirmasi final untuk diagnosa epilepsi, yang berarti penderita tersebut harus memakai obat secara terus-menerusdalam jangka waktu yang panjang. Sejumlah penelitian dalam beberapa tahun terakhir ini mengemukakan resiko berulangnya pada anak penderita epilepsi yang berhenti minum OAE secara tiba-tiba begitu mereka bebas serangan.
BAB II
EPIDEMIOLOGI EPILEPSI
II. A. Prevalens dan Insiden Epilepsi
Para peneliti umumnya mendpatkan insiden 20-70 per 100.000 per tahun dan prevalens sewaktu-waktu 4-10 per 1.000 pada populasi umum.Insiden epilepsi berubah-ubah menurut umur, insiden tertinggi pada anak-anak usia dini,mencapai nadir pada usia dewasa dini dan naik kembali pada usia tua.1
Pasien laki-laki umunya sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan. Prevalensi total yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk dalam suatu populasi yang pernah menderita epilepsi dipekirakan sekitar 2-5 %, sehingga diperkirakan sebanyak 1 di antara 20 penduduk dalam suatu populasi akan mengalami epilepsi. Sedangkan pada populasi akan diperkirakan 0.3-0.4 % di antaranya menderita epilepsi. Perhitungan ini menunjukkan bahwa epilepsi merupakan kelainan neurologis yang paling menonjol.1
II. B. Kejang Tanpa Demam Setelah Kejang Demam
Anak dengan kejang demam mempunyai 2 resiko yang mungkin dihadapinya, yaitu resiko sebesar 30-40 % untuk berulangnya kejang demam dan sebagian kecil mengalami epilepsi di kemudian hari. Pada penelitian NCPP, hanya 3 % di antara anak-anak dengan kejang demam mengalami setidaknya sekali kejang tanpa demam.1
1. Riwayat epilepsi dalam keluarga
2. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam
3. Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal
II.C. Berulangnya Kejang Tanpa Demam Setelah Kejang Tanpa Demam Pertama
Resiko berulangnya kejang pada anak-anak umumnya tergantung pada jenis kejang serta ada atau tidaknya kelainan neurologis dan elektroensefalografi. Di antara bayi yang mengalami kejang neonatal, akan terjadi bangkitan kejang tanpa demam dalam 7 tahun pertama pada 25% kasus. Tujuh puluh lima persen di antara bayi yang mengalami bangkitan kejan tersebut akan menjadi epilepsi.1
Annegers dkk, meneliti resiko berulangnya kejang pada 424 pasien kejang tanpa demam pertama yang terdiri dari neonatus sampai orang dewasa. Berulangnya kejang tercatat pada 220. Secara keseluruhan resiko berulangnya kejang sebesar 9%, 21%, 30%, 36%, 48% dan 56% berturut-turut setelah pemantauan 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, 3 tahun dan 5 tahun.1
Resiko berulangnya kejang berbeda-beda secara bermakna menurut klasifikasi etiologi kejang pertama. Pasien dengan kejang pertama yang idiopatik (287 orang), yaitu pasien ayng tidak mempunyai riwayat gangguan neurologis yang dapat dianggap predisposisi terjadinya kejang, mempunyai prognosis yang paling baik dengna resiko rekuren kumulatif 26% pada 1 tahun dan 45% pada 5 tahun pemantauan. EEG abnormal, kelainan neurologis dan kejang parsial pada pasien merupakan prediktor tingginya resiko berulangnya kejang.1
Pasien dengan kejang pertama yang simtomatik (122 orang), yaitu pasien dengan riwayat gangguan susunan saraf pusat pascaneonatal yang dianggap predisposisi terjadinya kejang seperti infeksi susunan saraf pusat, penyakit serebrovaskular atau trauma kepala, mempunyai resiko rekuren 56% selama periode 1 tahun dan 77% selama periode 5 tahun. Pasien dengan palsi serebral atau retardasimental berat akibat defisit neurologis sejak lahir (15 orang), mempunyai resiko rekuren 92% selama periode 1 tahun.1
Faktor resiko kunci berulangnya kejang dalam penelitian ini ialah etiologi kejang (idiopatik atau simtomatik) dan elektroensefalogram. Dengan varabel tersebut dapat ditentukan sekelompok besar anak-anak dengan resiko rendah (kejang idiopatik dengan elektroensefalogram normal) dan sekelompok anak-anak dengan resiko tinggi untuk mengalami kejang berikutnya (kejang idiopatik dengan ekejtriebsefakigram abnormal dan riwayat epilepsi dalam keluarga, kejang simtomatik dengan riwayat kejang demam, kejang simtomatik yang parsial).1
II.D. Remisi dan Kekambuhan Pasien Epilepsi
Obat anti epilepsi dapat mengontrol kejang pada 70% – 80% anak-anak dengan epilepsi. Resiko utama penghentian antikonvulsan ialah kambuhnya kejang.1
Terdapat beberapa faktor yang rutut menentukan kemungkinan kambuhnya kejang setelah penghentian antikonvulsan. Reterdasi mental dan mudanya usia saat onset kejang meningkatkan resiko kambuh. Beberapa faktor lain yang menunjukkan beratnya epilepsi juga meningkatkan resiko kambuh, antara lain, seringnya serangan kejang sebelum epilepsi terkontrol, kelainan EEG yang nyata sreta lamanya dan jumlah antikonvulsan yang dibutuhkan untuk mengontrol epilepsi.1
Shinnar dkk, dalam penelitiannya mendapat 75% anak-anak dan remaja epilepsi yang bebas kejang selama 2 tahun tetap bebas kejang setelah penghentian antikonvulsan selama 30 bulan. Kekambuhan paling sering terjadi dalam bulan-bulan pertama penghentian obat dan 82% kekambuhan terjadi dalam tahun pertama. Kelaianan elektroensefalogram yang khas (perlambatan atau gelombang paku), jenis kejang dan usia saat kejang merupakan faktor yang berperan dalam prognosis.1
Shinnar dkk, merekomendasikan penghentian antikonvulsan pada pasien epilepsi yang sudah bebas kejang selama 2 tahun atau lebih. Tingginya tingkat remisi dan rendahnya kekambuhan berbagai peneliti ini menunjukkan prognosis epilepsi yang baik pada anak.1
II. E. Prognosis
Secara umum dapat disimpulkan bahwa prognosis epilepsi pada anak sangat tegantung pada jenis epilepsi yang dideritaya. Faktor yang berhubungan dengan baiknya prognosis di antaranya tidak terdapatnya kelainan neurologis dan mental; tidak kerapnya kejang, terutama jenis tonik klonik umum, hanya terdapat satu jenis kejang, dan cepatnya kejang dikendalikan. Umur onset yang relatif lambat, sesudah usia 2 atau 3 tahun, juga merupakan fakto ryang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian pengobatan tergantung pada faktor yang sama dengan remisi kejang. Sebaliknya, faktor yang berhubungan dengan prognosis yang buruk di antaranya terdapatnya penyebab kejang organik, terdapatnya kelainan neurologis dan atau mental, terdapatnya beberapa jenis kejang termasuk serangan tonik klonik umum yang sering dan atau kejang tonik dan atonik.1
BAB III
E P I L E P S I
III. A. Definisi
Bangkitan epilepsi atau serangan kejang merupakan manifestasi klinis lepas muatan listrik yang berlebihan di sel-sel neuron otak. Hal ini terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan fungsi ini dapat berupa gangguan fisiologi, biokimiawi, anatomi, atau gabungan berbagai faktor tersebut. Tiap kelainan yang menganggu fungsi otak, baik yang fokal maupun umum, dapat mengakibatkan bangkitan kejang atau serangan epilepsi.2
III. B. Etiologi
Bila ditinjau dari faktor etiologi, maka sindrom epilepsi dapat dibagi menjadi kelompok, yakni : 1
1. Epilepsi idiopatik (penyebab tidak diketahui)
2. Epilepsi simtomatik (penyebabnya diketahui, misalnya tumor otak, pasca trauma otak, pasca ensefalitis).
Epilepsi Idiopatik
Pada sebagian besar pasien, penyebab epilepsi tidak diketahui dan biasanya pasien tidak menunjukkan manifestasi cacat otak dan juga tidak bodoh. Dengan bertambah majunya pengetahuan serta kemampuan diagnostik, maka golongan idiopatik makin berkurang. Sebagian dari jenis idiopatik disebabkan oleh abnormalitas konstitusional dari fisiologi serebral yang disebabkan oleh interaksi beberapa faktor genetik. Gangguan fisiologis ini melibatkan stabilitas sistem telamik-intralaminar dari substansia kelabu basal da mencakup reticular activating system dalam sinkronisasi lepas muatan. Sebagai akibatnya dapat terjadi gangguan kesadaran yang berlangsung singkat (absens murni, petit mal), atau lebih lama dan disertai kontraksi otot tonik-klonik (tonik-klonik umum, grand mal).1
Epilepsi Simtomatik
Epilepsi Simtomatik dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan intrakranial atau ekstrakranial. Penyebab intrakranial misalnya anomali kongenital, trauma otak, neoplasma otak, misalnya: gagal jantung, gangguan pernafasan, gangguan metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat, gangguan hidrasi (hidrasi, hidrasi lebih).1
III. C. Patofisiologi
Sampai saat ini belum terungkapkan dengan baik dan rinci mekanisme yang memulai atau yang mencetuskan sel neuron untuk berlepas muatan secara sinkron dan berlebihan. Namun, beberapa faktor yang ikut berperan telah terungkapnya, misalnya :1
Gangguan pada membran sel neuron
Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron permeabel sekali tehradap ion kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium, sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium yang tingi dan konsentrasi ion natrium yang rendah di dalam sel dalam keadaan normal.1
Potensial membran ini dapat diganggu dan berubah oleh berbagai hal, misalnya perusahaan kosentrasi ion ekstraselular, stimulasi mekanis atau kimiwai, perubahan pada membran oleh penyabit atau jejas, atau pengaruh kelainan genetik.1
Bila keseimbangan terganggu, sifat semi-permeabel berubah, membiarkan ion natrium dan perubahan potensial yang menyertainya. Potensial aksi terbentuk di permukaan sel, dan menjadi stimulus yang efektif pada bagian membran sel lainnya dan menyebar sepanjang akson. Konsep bahwa permeabilitas ion meningkat pada bangkitan epilepsi saat ini banyak dianut. Tampaknya semua konvulsi, apapun pencetus atau penyebabnya, disertai berkurangnya ion kalium dan meingkatnya konsentrasi ion natrium di dalam sel.1
Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan pasca-sinaps
Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps-sinaps. Potensial-aksi yang terjadi di satu neuron dihantar melalui neurakson yang kemudian membebaskan zat transmiter pada sinaps, yang mengeksitasi atau menginhibisi membran pascasinaps. Transmiter eksitasi (asetilkolin, glutamic acid, glisin) mengakibatkan depolarisasi; zat transmiter inhibisi (GABA atau Gama amino butyric acid, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimaannya. Jadi satu impuls dapat mengakibatkan stimulasi atau inhibisi pada transmisi sinaps.1
Tiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron-neuron lainnya melaui sinaps eksitasi atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang terdiri dari sel neuron yang saling berhubungan dengan saling mempengaruhi aktivitasnya. Pada keadaan normal didapatkan keseimangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan terhadap keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang. Efek inhibisi ialah meninggikan tingkat polarisasi membran sel. Kegagalan mekanisme inhibisi mengakibatkan epilepsi. Fosfat-piridoksal penting untuk sintesis GABA, definisi piridoksin metabolik atau nutrisi dapat mengakibatkan konvulsi pada bayi. Antikonvulsan valproat bekerja dengan melalui pencegahan pemecahan GABA.1
Dapat dikemukakan bahwa pada bayi dan anak, bukan saja maturasi anatomik dari sistem saraf mempunyai peranan, tetapi juga variasi atara keseimbangan sistem inhibisi dan eksitasi di otak memainkan peranan penting dalam menentukan ambang kejang, dengan demikian mempengaruhi perubahan tinggi-rendahnya ambang kejang. Demikian pula, jaringan saraf dapat menjadi hipereksibel oleh perubahan homeostatis tubuh. Perubahan tersebut dapat diakibatkan oleh demam, hipoksia, hipolsemia, hipogsia, hiposemia, hipoglikemia, hidrasi-lebih dan perubahan keseimbangan asam-basa. Faktor eksternal dapat pula meningkatkan hipereksitabilitas, misalnya obat konvulsan, penghentian mendadak obat antikonvulsan terutama barbiturat, dosis-lebih berbagai macam obat dan berbagai toksin.1
Sel gila
Sel gila diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstra-selular di sekitar neuron dan terminal presinaps. Pada glisis atau keadaan cedera, fungsi gila yang mengatur konsentrasi ion kalium ekstraselular dapat terganggu dan mengakibatkan meningkatnya eksitabilitas sel neuron di sekitarnya. Rasio yang tinggi antara kadar ion kalium ekstraselular dibanding intraselular dapat mendepolarisasi membran neuron.1
Telah didapat banyak bukti bahwa astroglia berfungsi membuang ion kalium yang berlebihan sewaktu aktifnya sel neuron. Didapatkan bahwa sewaktu kejang kadar ion kalium meningkat sebanyak 5 kali atau lebih di cairan interstisial yang mengitari sel neuron. Waktu ion kalium diserap oleh astroglia cairanpun ikut terserap dan sel astroglia menjadi membengkak (edema), hal ini merupakan jawaban yang khas bagi astroliga terhadap meningkatnya ionkalium ektraselular, baik yang disebabkan oleh hiperativitas neuronal, maupun akibat iskemia sebebral.1
Bila sekelompok sel neuron tercetus dalam aktivitas listrik berlebihan, maka didapatkan 3 kemungkinan1:
1. Aktivitas ini tidak menjalar ke sekitarnya, melainkan terokalisasi pada kelompok neuron tersebut, kemudian berhenti.
2. Aktivitas menjalar sampai jarak tertentu, namun tidak melibatkan seluruh otak, kemudian menjumpai tahanan dan berhenti.
3. Aktivitas menjalar ke seluruh otak dan kemudian berhenti.
Pada keadaan 1 dan 2 didapatkan bangkitan epilepsi fokal (parsial), sedang pada keadaan 3 didapatkan kejang umum. Jenis bangkitan epilepsi bergantung kepada letak serta fungsi sel neuron yang berlepas-muatan listrik berlebihan serta penjalarannya. Kontraksi otot somatik akan terjadi bila lepas muatan melibatkan daerah motor di lobus frontalis. Bermacam ragam gangguan sensori akan terjadi bila struktur di lobus parietalis dan oksipitalis terlihat. Kesadaran menghilang bila lepas muatan melibatkan batang otak dan talamus. Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan epilepsi klinis, walaupun ia berlepas muatan listrik yang berlebihan. Sel neuron di serebelum, di bagian bawah batang otak dan di medula spinals tidak mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Fenomen Tood lebih sering dijumpai pada pasien dengan fokus oleh lesi struktural. 1
Sesekali didapatkan cacat akibat bangkitan kejang yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat mengakibatkan kerusakan pada sel neuron, dengan akibat cacat yang menetap.1
BAB IV
KLASIFIKASI EPILEPSI
Epilepsi
Klasifikasi bangkitan (serangan kejang) 1. Kejang parsial (fokal, lokal)
a. Parsial sederhana (simple partial)
§ Dengan gejala motork
§ Dengan gejala otonom
§ Dengan gejala somatosensoris seperti halusinasi visual, auditoris, vertigo dan sebagainya
§ Dengan gejala psikis, seperti fungsi luhur, afektif, kognitif, ilusi, halusinasi struktural, dan sebagianya.
b. Parsiap kompleks (complex partial)
§ Dengan gejala perubahan kesadaran, bisa dimulai sebagai serangan parsial sederhana
§ Dengan gejala otomatis
§ Bisa dimulai sebagai gejala parsial sederhana kemudian berubah mejadi tonok-klonik umum.
2. Kejang umum
a. Absences dengan gejala perubahan kesadaran sementara, bisa disertai komponen tambahan berupa gerakan klonik, atonik, tonik atau otonom; atau gejala otomatisme.
b. Atypical absences dengan perubahan tonus otot, timbul dan berakhirnya suatu serangan tidak secara tiba-tiba seperti pada typical absences.
c. Serangan kejang mioklonik
d. Serangan kejang tonik
e. Sedangkan kejang tonik-klinik
f. Sedangkan kejang atonik
3. Tidak dapat diklasifikasiSindrom epilepsiI. Hubungan lokalisasi epilepsi dan sindron (fokal, lokal, partial)
1. Idiopatik dengan onset berhubungan dengan umur :
o Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal.
o Epilepsi anak dengan paroksismalitas di oksipital.
o Epilepsi reading primer.
2. Simtomatik
o Epilepsi parsial kontinua progresif kronik pada anak (sindrom Kojewnikows).
o Sindrom yang ditandai oleh bangkitan dengan carapresipitasi yang khas sindrom yang berdasarkan tipe bangkitan, lokalisasi anatomik dan etiologi : epilepsi lobus oksipitalis.
o Kriptogenik : digolongkan menjadi simtomatik dengan etiologinya tidak diketahui. II. Epilepsi umum dan sindrom
1. Idiopatik dengan onset berhubungan dengan umur :
o Kejang neonatal familial benigna
o Kejang neonatal benigna
o Epilepsi mioklonik benigna pada bayi
o Epilepsi absens pada anak
o Epilepsi absens juvenil
o Epilepsi mioklonik juvenil (petit mal impulsif)
o Epilepsi dengan bangkitan grand mal pada waktu bangun
o Epilepsi bangkitan yang didahului oleh bentuk aktivitas yang khas.
2. Kriptogenik atau imtomatik, menurut penampilan umur :
o Sindrom West (spasme infantil, Blitz-Nick-Salam kramfe)
o Sindrom Lennox Gastaut
o Epilepsi dengan bangkitan mioklonik-astatik
o Epilepsi dengan absens mioklonik
3. Simtomatik :
a. Etiologi tidak khas
o Ensefalopati mioklonik dini
o Ensefalopati epileptik infantil dini dengan Suppession burst.
o Epilepsi umum simtomatik lain yang tidak tersebut di atas
b. Sindrom spesifik
o Bangkitan epileptik yang mungkin menyebabkan komplikasi banyak penyakit, yang termasuk ini adalah penyakit-penyakit dengan bangkitan/ serangan yang merupakan manifestasi utama.
III. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan sifatnya fokal atau umum
1. Dengan keduanya bangkitan umum atau fokal :
o Kejang neonatal
o Epilepsi dengan gelombang paku-ombak terus menerus selama tidur dengan gelombang lambat.
o Afasia epileptik didapat (sindrom Landau-Kleffner)
o Epilepsi lain yang tidak dapat ditentukan dan bukan di atas.
2. Tanpa sifat yang jelas bangkitan umum atau fokal
o Ini termasuk semua kasus grand mal tonik-klonik yang secara klinis dan EEG tidak dapat diklasifikasikan secara jelas serangan umum dan hubungannya dengan lokalisasinya, seperti pada banyak kasus serangan grand mal waktu tidur.
IV. Sindrom special
Bangkitan yang berhubungan dengan situasi :
o Kejang demam
o Bangkitan tersendiri atau status epileptikus tersendiri.
o Bangkitan yang terjadi hanya apabila ada kelainan metabolik akut atau kejadian toksik akut misalnya karena alkohol obat-obatan, eklamsia, dan hiperglikemia non hetotik.
V.A. Klasifikasi bangkitan
1. Kejang partial 1,2
Partial Sederhana
Partial Kompleks
– Kejang dengan onset lokal pada 1 bagan tubuh tanpa gangguan kesadaran.
– Berupa gejala motor, sensori, kognitif, atau efektif.
– terlihat gerakan klonik sejak awal atau gerakan klonik setelah fase tonik sebentar, mengenai jari, bibir, kelopak mata, otot wajah, lidah, faring & larings, salivasi dan kesulitan bicara.
– Kejang versive sering ditemukan, berupa deviasi konjugat bola mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai perubahan postural berupa kontraksi tonik lengan bawah dengan adduksi bahu disisi arah muka menoleh.
– Terlihat jacksonian seizure berupa perjalanan kejang motor.
– gejala autonomik : muntah, pucat, muka merah, berkeringat, piloereksi, dilatasi pupil, ikontinensia- disebut epilepsi iobus temporalis
– Serangan epilepsi partial sederhana + gangguan kesadaran
– gangguan kesadaran sejak awal serangan
– Disertai gejala psikis / gangguan fungsi luhur berupa :
Disfagia
De Javu (dikenal dengan peristiwa yang belum pernah dialami
JamaisVu (≠ kenal dengan peristiwa yang pernah dialami)
Dreamy state (kesadaran seperti mimpi)
Ilusi
Gangguan emosi
– Penderita sering membingungkan, disorientasi selama bebereapa menit pasca bangkitan.
2. Kejang Umum1
Absens
Ciri kas serangan absens adalah durasi yang singkat, onset dan terminasi mendadak, frekuensi sangat sering, gangguan kesadaran dengan atau tanpa manifestasi.
EEG iktal berupa gelombang paku-ombak 3 spd regular, bilateral simtris. Kadang-kadang terlihat gelombang paku-ombak majemuk. EEG interiktal biasanya normal.
Absens atipik
Berupa absens yang disertai kehilangan tonus yang sangat jelas, atau oset dan berhentinya serangan tidak mendadak. EEG iktal lebih heterogen, dapat berupa gelombang paku-ombak iregular, gelombang cepat atau aktivitas paroksismal lain. Kelainan terlihat bilateral tetapi sering tidak simetris dan iregular. EEG interiktal berupa gelombang paku atau paku-ombak lambat iregular dan asimetris.
Kejang umum tonik-klonik (TK)
Dikenal sebagai epilepsi grand mal dan merupakan prototipe semua angkitan kejang. Kejang TK tidak merupakan suatu grup homogen dan dapat terjadi pada berbagai keadaan. Bila ia merupakan bagian dari suatu epilepsi kronik, biasanya disertai bangkitan kejang lain.
1. Kejang umum TK sejak awal serangan, seringkali merupakan manifestasi epilepsi idiopatik. Sering didahului kejang mioklonik.
2. Kejang umum Tk yang berasal dari kejang parsial yang secara sekunder menjadi umum. Serangan kejang parsial dapat berupa motor fokal, sensori atau fenomena lain. Serangan parsial ini disebut sebagai aura. Pada keadaan lain, kejang secara klinis terlihat sebagai kejang umum Tk sejak awal, tetapi EEG iktal menunjukkan adanya fokus fokal.
3. Kejang umum TK dapat merupakan manifestasi epilepsi dengan fokus multifokal yang independen satu sama lain. Dalam keadaan ini selalu disretai jenis serangan lain misalnya kejang tonik, absens atau parsial.
Serangan terlihat sebagai manifestasi motor, autonomik dan kehilangan kesadaran. Fase tonik berupa kontraksi otot menyeluruh yang menyebabkan pasien jatuh. Pasien terbaring dalam posisi ekstensi. Kontraksi yang menyebabkan pasien jatuh. Pasien terbaring dalam posisi ekstensi. Kontraksi tonik diafragma dan otot interkostal menyebabkan hambatan respirasi dan sianosis. Seteah 10 – 30 detik, terlihat kejang klonik simetris bilateral yang seringkali didahului tremor. Dapat serta expiratory grunting karena udara dipaksa ke luar oleh kontraksi diafragma melalui glotis yang tertutup. Mulut berbuasa dan lidah dapat tergigit pada saat ini. Setelah 30-60 detik, terjadi relaksasi otot. Dapat terjadi fase tonik kembali selama beberapa detik, terutama pada otot sefalik. Postiktal pasien tidak sadar, nafas cepat dan terlihat pucat. Pada 3% kasus tejadi inkontinensia. Fenomena autonomik berupa takidardia, hipertensi, flushing, salivasi dan bertabahnya sekresi bronkus.
Kejang mioklonik
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh atau satu atau lebih ekstremitas, atau satu group otot. Dapat berulang atau tunggal. Banyak gerak mioklonik yang bukan merupakan epilepsi. Serangan mioklonik dapat terjadi pada penyakit medula spinalis, disinergia sereberalis mioklonika, miokonus segmental subkortikal dan lain-lain yang harus dibedakan dari epilepsi.
Kejang klonik
Kejang umum tonok-klonik kadang-kadang tidak memperlihatkan fase tonik tetapi hanya sentakan klonik. Pada saat frekuensi gerak klonik menurun, amplitudo tetap tinggi. Fase postiktal biasanya pendek. Dapat terjadi gerak klonik kemudian menjadi tonik dan kembali menjadi klonik disebut sebagai klonik-tonik-klonik.
Kejang tonik
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh.
Wajah menjadi distorsi, pucat kemudian menjadi merah dan kebiruan karena tidak dapat bernapas. Serangan tonik aksial dengan ekstensi kepala, leher dan batang tubuh dpat terjadi.
Kejang atonik atau astatik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya kepala jatuh ke depan, mulut terbuka, atau lengan jatuh tergantung, atau menyeluruh sehingga pasien jatuh. Kesadaran hanya hilang sejenak. Serangan atonik dapat terjadi pada keadaan bukan epileksi misalnya iskemia batang otak dan sindrom narkolepsikatapleksi.
IV. B. Sindrom Epilepsi 1
1. Epilepsi Idiopatik Partial
Benign Childhood Epilepsy With Centrotemporal Spikes
Onset pada usia 2-13 tahun, tersering antara 5-10 tahun, laki-laki lebih sering dibandingkan perempuan. Serangan terjadi pada anak normal. Terlihat dominasi gejala orofaringeal berupa salivasi, tidak dapat bicara, gerak involunter mulut dan farings, suara tenggorok, kontraksi tonik atau klonik lidah, dagu, atau salah satu sisi wajah, rasa baal atau parestesia dagu, gusi dan lidah.
Epilepsi pada Anak dengan Paroksimalitas Oksipital (Childhood Epilepsy with occipital Paroxysms)
Onset terjadi pada usia 6 tahun, sebagai seranan parsial dengan gejala visual dominan, berupa buta sejenak, halusinasi berbentuk atau tidak berbentuk. Serangan dapat terbatas hanya pada gejala visual atau terjadi serangan hemiklonik, parsial kompleks atau tonik-klonik umum. Pasca kejang dapat terjadi sakit kepala, neusea dan muntah.
2. Epilepsi Idiopatik Umum
Serangan kejang umum sejak awal pada EEG tampak kelainan umum pula.
Idiopatik dengan onset berhubungan dengan umur
Sindrom Neunatal Familial Benigna (Benign Neonatal Familial Convulson)
o Sindrom Neonatal Familial Benigna (Benign Neonatal Familial Conculsion)
o Kejang terjadi pada hari ke 2 sampai 15 setelah lahir
o Tidak ada kriteria EEG
o Sebagian kecil kasus mengalami kejang kembali pada masa anak.
Kejang Neonatal benigna (Benign Neonatal Convulsion = Bnc)
o Kejang sangat sering, terjadi sekitar hari ke 5, tanpa etiologi yang jelas EEG interiktal menunjukkan gambaran theta pointu alternant.
o Tidak terjadi epilepsi atau kejang di kemudian hari
o Perkembangan psikomotor normal.
Epilepsi Mioklonik Benigna Pada Bayi (Benign Myoclonic Epilepsy In Infancy)
o Jarang ditemukan
o Serangan mioklonus umum pada tahun pertama atau kedua kehidupan pada anak normal.
o Seringkali ditemukan riwayat keluarga epilepsi.
o EEG iktal memperlihatkan gelombang paku-ombak umum dengan letupan oada saat awal tidur.
Epilepsi Mioklonik Juvenilis (Juvenile Myoclonic Epilepsy = JME)
Berbeda dengan serangan mioklonik lain, JME bersifat benigna dan tidak progresif. Mioklonus merupakan gejala utama, berupa kejutan pada ekstremitas atas spontan, tunggal atau multipel, bilateral simetris tanpa kehilangan kesadaran. Serangan terjadi pada hari setelah bangun tidur setelah malamnya mengalami kurang tidur.
Absens Juvenilis (Juvenile Absence Epilepsy)
Merupakan sindrom epilepsi umum idiopatik yang muncul pada usia sekitar pubertas. Serangan tidak banyak berbeda dengan absens pada anak. Frekuensi serangan jarangan, umumnya muncul setiap hari dan biasanya sporadis.
Kriptogenik atau Sitomatik
Sindrom West
o Spasme
o Retardasi mental atau deteriorasi mental
o Hipsaritma
o Onset sebelum 1 tahun, puncak antara 3-7 bulan
Sindrom Lennox-Gastaut (SLG)
o Ditandai serangan epilepsi berupa absens atipik, kejang tonik aksial, jatuh mendadak karena serangan atonik atau kadang-kadang mioklonik.
o Gelombang paku ombak lambat difus pada saat bangun, irama cepat 10/detik pada saat tidur.
o Gangguan perkembangan mental dan tingkah laku.
Umur onset kurang dari 8 tahun dengan puncaknya antara 3-5 tahun. Laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Onset penyakit bervariasi, dapat terjadi pada anak yang sebelumnya normal.
Epilepsi dengan Kejang Mioklonik-Astatik (Epilepsy with Myoclonic-Astatic)
Manifestasi klinis muncul pada usia antara 7 bulan – 6 tahun. Laki-laki 2 kali lebih sering dibandingkan perempuan. Kejang berupa kejang mioklonik, astatik, mioklonik-astatik, absens dengan komponen klonik dan tonik, dan tonik-klonik. Perjalanan penyakit bervariasi.
Epilepsi dengan Absens Mioklonik (Epilepsy with Myoclonic Absence)
Ini adalah bangkitan absens disertai mioklonus dengan intensitas bervariasi, bilateral, ritmis, difus, EEG iktal menunjukkan gambaran paku ombak 3 per detik.
Tanpa Etiologi yang khas
Mioklonik Ensefalopati (Early Myoclonic Encephalopathy)
o Onset sebelum usia 3 bulan
o Mioklunus sejak onset
o Kejang parsial tidak teratur
o Mioklonia masif dan /atau spasme tonik
o EEG : aktivitas supression-burst, berubah menjadi hipsaritmia atipik
o Tidak ada perkembangan, meninggal sebelum usia 1 tahun
o Seringkali familial
Early Infantile Epileptic Encephalophaty with Suppression-Burst
Bayi umumnya lahir normal dan tampak normal selama beberapa hari. Kemudian terjadi kejang umum yang merupakan spasme fleksor, ekstensor atau asimetris. Pada mulanya bayi normal secara neurologis. Kejang bertambah sering secara progresif dan terjadi defisit neurologis berupa kelumpuhan, ataksia atau distonia. Berbeda dengan early myoclonic encephatlopaty kelompok ini tidak memperlihatkan mioklonus. EEG tidak menunjukkan irama normal, yang terlihat adalah pola supression-burst, berupa gelombang yang hampir datar selama beberapa detik bergantian dengan letupan gelombang paku dan lambat amplitudo tinggi 150-300 uv difus. Prognosis buruk, separuh pasien akan meninggal, sisanya menjadi cacat menetap. Sebagian pasien dapat berubah menjadi spasme infantil.
BAB V
PEMERIKSAAN PENUNJANG EPILEPSI
Pemeriksaan penunjang biasa dilakukan terdiri atas pemeriksaan darah, urin, cairan brospinalis, elektroensefalografi (EEG) dan pencitraan. Pemeriksaan penunjang dilakukan atas dasar indikasi.1
r Pemeriksaan Urin1
Kadang-kadang serangan epilepsi disebabkan oleh kelainan ginjal yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan urin rutin. Pemeriksaan urin lain ialah untuk mengetahui adanya asam amino dalam urin, misalnya pada pasien epilepsi yang disebabkan oleh fenilketonuria atau histidinuria. Pemeriksaan ini dilakukan atas dasar indikasi.
r Pemeriksaan Darah1
Kelainan-kelainan darah tertentu dapat menyebabkan serangan epilepsi, misalnya anemia sickle cell, polisitemia dan leukemia. Pemeriksaan gula darah, elektrolit darah dan ureum perlu dilakukan atas dasar indikasi. Misalnya serangan spasme infantil dapat disebabkan oleh karena hipoglikemia. Pemeriksaan darah lain ialah untuk mengetahui adanya infeksi intrauterin, misalnya toksoplasmosis kongenital, rubela kongenital dan sitomegalovirus kongenital. Pemeriksaan penunjang ini dilakukan atas dasar indikasi.
r Pemeriksaan Cairan Serebrospinal1
Cairan serebrospinal pada pasien epilepsi umum normal, fungsi lumbal dilakukan pada pasien yang diduga menderita meningitis. Pada pasien epilepsi dengan kelainan neurologis fokal dan tanda peninggian tekanan intrakranial sangat berbahaya apabila dilakukan fungsi lumbal.
r Pemeriksaan EEG1
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan peemriksaan penunjang yang paling baik untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Adanya pemeriksaan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
r Pemeriksaan Pencitraan1
Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan ialah foto polos kepala, angiografi serebral, Computed Tmography (CT) Scan, magnetic resonance imaging (MRI) dan Positron Emission Tomography (PET). Pemeriksaan pencitraan pada pasien epilepsi dilakukan atas dasar indikasi.
BAB VI
PENGOBATAN EPILEPSI
Secara umum, tujuan pengobatan epilepsi adalah untuk mengendalikan serangan epilepsi dengan cara pemberian OAE yang tepat, dalam dosis yang adekuat dan tanpa menimbulkan efek samping atau gejala-gejala toksik. Tetapi harus pula diperhatikan bahwa pengobatan anak dengan epilepsi juga bertujuan untuk mengoptimalkan kualitas hidup mereka. Pengambilan keputusan untuk memulai pengobatan OAE sebaiknya dilakukan secara bersama oleh dokter dan keluarga penderita dengan mempertimbangkan resiko/manfaat yang diperoleh bila penggunaan OAE ditunda atau segera dimulai.3
r Prinsip pengobatan adalah3 adalah :
1. Mengurangi atau menghilangkan serangan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita.
2. Terari diberikan sedini mungkin setelah diagnosa pasti
3. Pilihan OAE sesuai dengan jenis epilepsinya
4. Obat diupayakan tunggal
5. Dosis minimal yang efektif
6. Biaya terjangkau
7. Terapi harus berdasarkan “evidense-based clinical praktice”
r Obat Anti Epilepsi
Pemilihan Obat Anti Epilepsi
Setelah diagnosis epilepsi mantap, tahap berikutnya adalah mencari OAE yang sesuai. Jenis OAE sangat tergantung pada sifat serangan epilepsi. Berikut ini tedapat 2 Tabel mengenai spesifitas OAE terhadap serangan (Tabel 5-1) dan OAE pilihan pertama dan kedua terhadap jenis epilepsi tertentu (Tabel 5.2).
Tabel 5-1. SPESIFISITAS OAE PADA PELBAGAI JENIS SERANGAN1
Jenis Serangan Parsial Umum Tk Absens Mioklonik Tonik
Asetazolamid
Karbamazepin
Klonazepam
Etosuksimid
Fenobarbital
Fenitoin
Primidon
Valporat
+/-
+
+
–
+
+
+
+
+
+
+
–
+
+
+
+
+
–
+
+
–
–
–
+
+/-
–
+
–
–
–
–
+
+/-
+
+
–
–
+
+
+
Tabel 5-2. OBAT PILIHAN PERTAMA DAN KEDUA1
Serangan parsial (sederhana, kompleks, dan umum sekunder)
OAE pilihan pertama : karbamazepin, fenoberbital, primidon, fenitoin
OAE pilihan kedua : benzodiazepin, asam valproat
Serangan Umum :
Serangan tonik-klonik
OAE pilihan pertama : karbamazepin, fenoberbital, primidon, fenitoin, asam valproat
OAE pilihan kedua : benzodiazepin, asam valproat
Serangan absens
OAE pilihan pertama : etosuksimid, asam valproat
OAE pilihan kedua : benzodiazepin
Serangan mioklonik
OAE pilihan pertama : benzodiazepin, asam valproat
OAE pilihan kedua : etosuksimid
Serangan tonik, klonik, anotik
Semua OAE kecuali etosuksimid.
Dosis dan kadar terapi obat antiepilepsi 2
Obat
Dosis (mg/kgBB/hari)
Kadar terapi dalam darah (mg/L)
Waktu paruh (jam)
Fenobarbital 2-10 15-40 40-70
Fenitoin 5-10 5-20 12-22
Karbamazepin 10-30 6-10 8-19
Valproat 15-30 50-100 6-15
Nitrazepam 0,1-1
Klonazepam 0, 03-0,1 0,03-0,06 16-60
Primidon 15-30 8-12 4-6
ACTH 10-30 U/hari
Asetazolmaid 20-25
r Jenis onat epilepsi1
1. Fenobarbital dan pirimidon
– mengatasi kejang tonik-klonik umum (grand mal), serangan partial sederhana, kompleks, status epileptikus dan mencegah kejang demam merupakan antikonvulsan yang aman dan murah.
– Fenobarbital dosis awal : 4-5 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis dan akan mencapai kadar teraopetik dalam 2-3 minggu, kadar teraupetik 15-40 Ug/ml efek toksik pada kadar lebih dari 60 Ug/ml.
– Pirimidon bersifat anti konvulsan. Dosis anak 10-25 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2-4 dosis, kadar terapautik 5-12 Jug/ml. Efek toksik bila kadar efek lebih dari 15 Ug/ml.
– Efek samping : ruam kulit dan diskrasia darah (jarang), mengantuk, hiperaktivitas, kadang-kadang mual, sakit kepala, kesimbangan.
2. Karbamazepin
– Obat utama untuk epilepsi partial (sederhana dan kompleks) dan epilepsi umum tonik-klonik.
– Dosis anak < 6 : 10-30 mg/kgBB dibagi dalam 2-4 dosis sehari kadar terapeutik 18-12 Ug/ml dalam 3-4 hari.
– Untuk 6-12 tahun : 100 mg 2x sehari, untuk 12 tahun : 200 mg 2x sehari.
– Efek idionsikratik : Ruam kulit, diskrania darah
– Efek intoksikasi : diplopia, vertiga, pusing, inkoordinasi, gejala distonik
– Keunggulannya : memperbaiki fungsi kognitif, menjadikan anak lebih sadar dan merasa lebih enak.
3. Fenition
– Untuk kejang tonik-klonik umum, serangan partial (sederhana – kompleks) dan beberapa jenis kejang lainnya.
– Jangan dibeirkan pada serangan campuran, karena dapat memperberat serangan absens
– Dosis rata-rata : mg/kgBB/hari, kadar terapeutik (10-20 Ug/ml) dalam 7-10 hari, nistagmus dapat timbul pada kadar 15-30 Ug/ml, ataksia pada kadar diatas 30 Ug/ml dan perburukan kejang pada kadar 40 Ug/ml.
– Efek Idiosinkasi : ruam kulit, diskrasia darah dan reaksi imunologis
– Efek intoksikasi : vertuga, gerakan involunter, pusing, mual, nistagmus, sakit kepala, ataksia letargi, perubahan perilaku.
– Efek kronik : hirsutisme, hipertrafi gigiva, gangguan perilaku dan fungsi kognitif, dapat terjadi peninggian SGOT, SGPT.
Efek samping yang berat : kelainan hematologis (trombositopenia, leukopenia, anemia) dan sindroma steven Johnson.
4. Etosuksimid
– Paling efektif untuk mengatasi serangan petit mal
– Dosis dimulai dengan 15-20 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis perhari pada anak <6 tahun (12 tahun : 250 mg/hari), kadar terapeutik 40-100 U/ml dalam 7-10 hari.
– Efek Idiosinkratik : ruam kulit dan diskrasia dalam (leukopenia, pansitopenia dan SLE).
Efek intoksikasi : vertiga, sefalgia, ataksia, neusea, latargi, anoreksia, batuk, gangguan gastrointestinal.
– Efek kronik : sfalgia dan perubahan perilaku
5. Asam valproat
– untuk epilepsi miklonik, absens, tonik klonik & serangan partial sederhana maupun kompleks.
– Dosis inisial anak : 15-20 mg/kgBB/hari dalam 2-4 dosis (masa paruh 6-15 jam) kadar terapeutik 40-150 Ug/ml dalam 1-4 hari. Pada politerapi dibutuhkan lebih dari 100 mg/kgBB/hari.
– Efek idiosinkratik : ruam kulit, gagal ginjal akut, pankreatitis akut dan diskrasia darah (trombositopenia, anemia & leukopenia)
Efek intosikasi : ngantuk, vertiga, perubahan perilaku
Efek kronik : mengantuk, perubahan perilaku, tremor, hiperamonia, rambut rontok, BB bertambah, gangguan lambung.
6. Benzodiazepin
– Untuk mengatasi serangan absens dan mioklonik, namun sayangnya hanya berfedah untuk bebreapa bulan saja.
a. Klonazepam : digunakan pada sebagian besar kejang motor minor (akinetik-petit mal atipis dan kurnag berguna untuk spasme infantil), dibeirkan dengan dosis 0,05 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis, lalu dinaikkan dengan 0,05 mg/kgBB per minggu sampai kejang teratasi (dosis maksimal 0,5 mg/kgBB). Dosis masih dapat dinaikkan bertahap 0,05 mg/kg/BB sampai timbul efek samping 9ataksia, mengantuk, disartria, iritabel dan berat badan naik). Gangguan emosi sering timbul bila di kombinasi dengan fenobarbital atau benzodiazepin lain.
b. Dizepam dan lorazepam digunakan pada status epileptikus dan kejang demam.
Asetamolamid digunakan sebagai pengobatan tambahan pada kejang refrakter, termasuk serangan bebas, kejang umum yang berkaitan dengan menstruasi dan serangan parsial kompleks.
r Pemberian Obat Anti Epilepsi Seceara Dini3
Manfaat
Pemberian OAE secara dini memberikan manfaat berupa terbebasnya penderita dariserangan, tetapi bagaimana engontrolnya setelah itu merupakan hal yang paling penting untuk diperhatikan. Pada penelitian yang membandingkan serangan ulang pada penderita anak dengan serangan tunggal yang diobati, dengan yang tidak diobati, terlihat bahwa pada anak yang mendapat pengobatan mempunyai resiko kambuh besar 25% dalam 2 tahun sejak mulai mendapat pengobatan OAE. Pada anak dengan trauma kepala, pemberian OAE dapat mencegah terjadinya serangan kejang, tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari.
Kerugian
Penggunaan OAE dapat menimbulkan efek yang merugikan seperti efek samping terhadap ranah kognitif, perubahan tingkahlaku, teratogenik maupun sigma sosial yang menggangu disamping harganya yang mahal. Terjadinya efek samping obat yangmerugikan pada pasien sulit diprediksi sebelumnya, misalnya reaksi hipersensitivitas, depresi sumsum tulang atau gangguan fungsi hati. Efek samping ini sering mengharuskan pasien menghentikan pengobatan.
Disamping itu diagnosa epilepsi kadang-kadang sulit dipastikan sehingga menyulitkan pemberian OAE. Penderita dengan serangan epilepsi yang tidak pasti sebaiknya diobservasi saja sampai diagnosa jelas, daripada menegakkan diagnosa dengan tetapi coba-coba.
r Melanjutkan Pengobatan Obat Anti Epilepsi1
Manfaat
Untuk mencapai terkontrolnya serangan harus ditetapkan perlu tidaknya dilanjutkan pengobatan. Keputusan ini terutama didasarkan atas analisa manfaat. Bila diputuskan untuk melanjutkan terapi,pasien akan terkontrol serangannya walaupun resiko serangan ulangan selama pengobatan OAE tetap ada.
Dua puluh dua persen yang sudah ada bebas kejang minimum 2 tahun dan memperoleh terapi lanjutan akan mendapat serangan kembali dalam 2 tahun berikutnya. Keputusan meneruskan tetapi tidak menjamin bebasnya penderita dari serangan kembali dalam 2 tahun berikutnya. Keputusan meneruskan terapi tidak menjamin bebasnya penderita dari serangan, walaupun pemberian terapi lanjutan dapat menurunkan resiko kambuhnya serangan.
Kerugian
Resiko meneruskan pengobatan meliputi beberapa resiko dari pemakaian OAE seperti telah disebutkan sebelumnya. Reaksi idiosinkrasi yang menyerupai alergi obat merupakan salah satu alasan untuk menghentikan pengobatan OAE.
r Menghentikan Pengobatan Obat Anti Epilepsi
Manfaat
Manfaatnya tergantung terutama kepada aspek sosiekonomis penderita. Seorang penderita akan terbebas dari stigma epilepsi dan tidak dibebani biaya yang relatif besar serta terbebas dari efek samping obat. Padapasien remaja, penghentian pengobatan adalah suatu jembatan menuju kebebasan.
Kerugian
Resiko utama dari penghentian pengobatan OAE, sekalipun dilakukan secara bertahap adalah kambuhnya serangan. Dibandingkan dengan awal pengobatan OAE kemungkinan kambuhnya serangan akibat penghentian OAE, lebih bermakna. Walaupun demikian telah disepakati bahwa kemungkinan serangan lebih rendah (30%) pada pasien yang sudah bebas kejang selama 2 tahun. Periode bebas serangan yang lebih panjang sebelum penghentian OAE, secara bertahap berhubungan dengan menurunnya resiko kambuh. Pada kebanyakan pasien kemungkinan kambuh serangan setelah 3-4 tahun bebas serangan lebih kecil. Bahkan bila penghentian bertahap OAE ini ditunda, penundaan ini dapat menimbulkan kesulitan dikemudian hari.
Penghentian OAE pada anak-anak penderita cerebral palsy tidak selalu berhubungan dengan meningkatkan resiko kambuh serangan. Resiko kambuhnya serangan pada anak-anak dengan cerebral palsy hanya 40, bila pengobatan OAE dihentikan secara bertahap setelah 2 tahun bebas serangan. Hanya 14,3% anak dengan diplegi spatik yang akan mengalami serangan ulang setelah pengobatan OAE dihentikan.
Anak-anak dengan mula serangan sebelum umum 2 tahun ataupadbuh, sebab bila epilepsi timbul sebelum umur 2 tahun, biasanya berhubungan dengan gangguan struktural otak ataupun gangguan metabolik. Pada remaja tidak jelas mengapa mempunyai kemungkinan kambuh yang lebih besar.
Penghentian pengobatan dapat menimbulkan kecamatan pada penderita. Untuk itu penderita harus memperoleh informasi yang jelas bahwa penghentian pengobaatan tidak akan membahayakan dirinya. Apakah penghentian penggunaan OAE akan menyebabkan kambuhnya serangan masih diperdebatkan. Penghentian barbiturat dan benzodiazepin secara tiba-tiba dapat memprovokasi serangan. Untuk OAE yang lain, bukti yang mendukung belum diketahui dengan pasti. Penarikan OAE dilakukan perlahan untuk keamanan pengobatan OAE. Resiko kambuhnya serangan pada 6 minggu setelah OAE dihentikan secara bertahap sama besarnya dengan resiko 9 bulan kemudian.
BAB VII
STATUS EPILEPTIKUS
VII.A. PENDAHULUAN
Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi : status petitmal, status psikomotor dan lain-lain. Di sini khusus dibicarakan status epileptikus dengan kejang tonik-klonik umum.4
Definisi : status epilepsi adalah bangkitan epilepsi yang berlangsung terus menerus selama lebih dari tiga puluh menit tanpa diselingi oleh masa sadar.4
Biasanya bila status epileptikus tidak bisa diatasi dalam satu jam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan otak yang permanen. Oleh karena itu gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat mungkin. Rata-rata 15% penderita meninggal, walaupun pengobatan dilakukan secara tepat. Lebih kurang 60-80% penderita yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacad neurologis atau berlanjut menjadi penderita epilepsi.4
VII.B. GAMBARAN KLINIS
Epilepsi fokal dengan manifestasi kejang otot lokal sampai separuh tubuh, gerakan adversif mata dan kepala, sering merupakan awal dari status epileptikus. Keluarga penderita yang melihat kejadian ini akan dapat menceritakannya kembali dengan jelas. Kejang menjadi bilateral dan umum akibat penyebaran lepas muatan listrik yang terus-menerus dari fokus pada suatu hemisfer ke hemisfer lain. Kejang tonik akan diikuti oleh sentakan otot atau kejang klonik. Proses ini berlangsung terus, sambung-menyambung tanpa diselingi oleh fase sadar.4
VII.C. ETIOLOGI
Status epileptikus tonik-klonik, banyak berasal dari insult akut pada otak dengan suatu fokus serangan.4
Penyebab status epileptikus yang banyak diketahui adalah, infark otak mendadak, anoksia otak, bermacam-macam gangguan metabolisme, tumor otak, menghentikan kebiasaan minimum keras secara mendadak, atau berhenti makan obat anti kejang. Jarang status epileptikus disebabkan oleh penyakit degenerasi sel-sel otak, menghentikan penggunaan penenang dengan mendadak, pasca aniestasi dan cedera perinatal.4
Penderita yang sebelumnya tidak mempunyai riwayat epilepsi, mungkin mempunyai riwayat trauma kepala, radang otak, tumor, penyakit pembuluh darah otak. Kelainan-kelainan ini terutama yang terdapat pada lobus frontalis, lebih sering menimbulkan status epileptikus, dibandingkan dengan lokasi lain pada otak.4
Penderita yang mempunyai riwayat epilepsi, dengan sendirinya mempunyai faktor pencetus tertentu. Umumnya karena tidak teratur makan obat atau menghentikan obat sekehendak hatinya. Faktor pencetus lain yang harus diperhatikan adalah alkohol, keracunan kehamilan, uremia dan laing-lain.4
VII. D. PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN
Status epileptikus bukanlah sebagian dari epilepsi, namun merupakan suatu komplikasi dan perubahan dalam pengobatan, akibat infeksi (virus) atau operasi komplikasi dan perubahan dalam pengobatan, akibat infeksi (virus) atau operasi otak. Tindakan yang terpenting adalah1:
1. Mempertahankan fungsi vital (memperbaiki pernafasan, hipertemia, hipotensi dan mencegah jangan smapai terluka.
2. Memberikan OAE untuk memberantas kejang
3. Mencari penyebab
4. Mencegah timbulnya kejang lagi
Menkes lebih menyukai lorazepam (ativan) suatu benzodiazepin dengan masa paruh 15,7 jam dengan dosis 0,1 mg/kgBB sampai maksimal 4 mg atau 0,06 mg/kgBB untuk anak 13 tahun. Lorazepam dapat menyebabkan dibandingkan diazepam bila dikombinasi dengan fenobarbital.1
Diazepam dapat diberikan IV perlahan (1-2 mg/menit dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB sampai dosis maksimal 20 mg) dan biasanya kejangnya akan berhenti dalam 3-5 menit. Keuntungan dizepam adalah kerja yang cepat, aman dan berfaedah pada serangan kortikal maupun sentrensefalik. Efek samping adalah depresi pernafasan dan hipotensi yang terutama timbul pada kombinasi dengan fenobarbital, masa kerja hanya 30-60 menit, sehingga perlu penambahan fenitoin 20-30 mg/kgBB IV (dicampur dengan NaC1 0,9% 50 cc karena tidak larut dalma glokuse 5%). Fenitoin sangat disukai untuk mengatasi kejang pada trauma kapitis dengan kesadaran harus dipertahankan.1
Lorazepam maupun diazepam tidak dapat dipergunakan sebagai OAE jangka panjang. Fenobarbital dapat diberikan 10 mg/kgBB IM atau IV atau subkutan dan membutuhkan 15 menit untuk menembus sawar darah otak. Bila masih timbul kejang, dapat diulang dosis yang sama. Bila kejang berlangsung lama diberikan kortikosteroid untuk mencegah timbulnya adema otak. Kemudian disusul dengan pemberian anestesia umum dengan kurare untuk mengurangi hipertermia dan hipoksia. Setelah kejang teratasi diberikan dosis rumat fenobarbital 4-6 mg/kgBB/hari IM disusun oleh pemberian oral. Pemeriksaan kadar plasma harus dilakukan pada 5-10 hari pertama untuk menilai kadar terapeutik.1
BAB VIII
KESIMPULAN
1. Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh berulangnya kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial.
2. Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut 2 cara yaitupada serangan dan sindrom epilepsi.
3. Prinsip pengobatan epilepsi adalah : mengurangi atau menghilangkan serangan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, terapi diberikan sedini mungkin setelah diagnosa pasti, pilihan OAE sesuai dengan jenis epilepsi, obat diudpayakan tunggal, dosis minimal yang efektif m (Uf, biaya terjangkau dan terapi harus berdasarkan “evidense based clinical practice”.
4. Yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa keputusan untuk memulai atau menghentikan pengobatan OAE harus dibuat secara individual. Pada pasien dengan banyak tipe serangan, pengobatan OAE dapat ditunda jika ada interval yang panjang diantara serangan-serangan tersebut atau jika tipe serangan diketahui jinak. Pengobatan dengan OAE dilakukan sampai penderita bebas serangan selama minimal 2 tahun, lalu dapat dihentikan secara bertahap dalam waktu dari 6-12 bulan.
5. Status epileptikus bukanlah sebagian dari epilepsi, namun merupakan suatu komplikasi dari perubahan dalam pengobatan, akibat, infeksi virus atau operasi otak.
6. Status epileptikus merupakan suatu keadaan darurat, serangan timbul sangat sering sehingga pasien tidak pernah sadar. Kejang yang berlangsung lebih dari 20-30 menit dapat menimbulkan kerusakan otak akibat hipoksia. Keadaan ini ditambah lagi dengan beberapa keadaan yang kurang menguntungkan misalnya hiperpireksia dan hipotesa yang akan menimbulkan kerusakan diserebelum.